Minggu, 08 April 2018

Cekungan Indonesia (Basin of Indonesia)


CEKUNGAN SUMATRA TENGAH

Tektonik Regional
Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan belakang busur.
Cekungan Sumatra tengah ini relatif memanjang Barat laut-Tenggara, dimana pembentukannya dipengaruhi oleh adanya subduksi lempeng Hindia-Australia dibawah lempeng Asia. Batas cekungan sebelah Barat daya adalah Pegunungan Barisan yang tersusun oleh batuan pre-Tersier, sedangkan ke arah Timur laut dibatasi oleh paparan Sunda. Batas tenggara cekungan ini yaitu Pegunungan Tigapuluh yang sekaligus memisahkan Cekungan Sumatra tengah dengan Cekungan Sumatra selatan. Adapun batas cekungan sebelah barat laut yaitu Busur Asahan, yang memisahkan Cekungan Sumatra tengah dari Cekungan Sumatra utara.
Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan kawasan Asia Tenggara lainnya pada masa kini.

 Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di bagian bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas dan diapir-diapir magma dengan produk magma yang dihasilkan terutama bersifat asam, sifat magma dalam dan hipabisal. Selain itu, terjadi juga aliran panas dari mantel ke arah atas melewati jalur-jalur sesar. Secara keseluruhan, hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan tingginya heat flow di daerah cekungan Sumatra tengah (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995). 
Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Subduksi lempeng yang miring dari arah Barat daya pulau Sumatra mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress di Cekungan Sumatra tengah (Wibowo, 1995). Hal ini dicerminkan oleh bidang sesar yang curam yang berubah sepanjang jurus perlapisan batuan, struktur sesar naik dan adanya flower structure yang terbentuk pada saat inversi tektonik dan pembalikan-pembalikan struktur (gambar 3). Selain itu, terbentuknya sumbu perlipatan yang searah jurus sesar dengan penebalan sedimen terjadi pada bagian yang naik (inverted) (Shaw et al., 1999).
Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995).
Lokasi Cekungan Sumatra tengah dan batas-batasnya.

 Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat laut–Tenggara.
Elemen tektonik yang membentuk konfigurasi Cekungan Sumatra tengah dipengaruhi adanya morfologi High – Low pre-Tersier. Pada gambar dapat dilihat pengaruh struktur dan morfologi High – Low terhadap konfigurasi basin di Cekungan Sumatra tengah (kawasan Bengkalis Graben), termasuk penyebaran depocenter dari graben dan half graben. Lineasi Basement Barat laut-Tenggara sangat terlihat pada daerah ini dan dapat ditelusuri di sepanjang cekungan Sumatra tengah. Liniasi ini telah dibentuk dan tereaktivasi oleh pergerakan tektonik paling muda (tektonisme Plio-Pleistosen). Akan tetapi liniasi basement ini masih dapat diamati sebagai suatu komponen yang mempengaruhi pembentukan formasi dari cekungan Paleogen di daerah Cekungan Sumatra tengah.
Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum dapat disimpulkan menjadi beberapa tahap, yaitu :
1.      Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-Tenggara.
2.      Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zaman Kapur.
3.      Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkan sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik ini terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir fase rifting.
4.      Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arah Timur laut meliputi  Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasi muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi regresif yang menghasilkan Formasi Petani.
5.      Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif dengan rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan. Pegunungan Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatan menuju utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.
6.      Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya inversi-inversi struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara. Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara formasi Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di bawahnya.

Stratigrafi Regional
Proses sedimentasi di Cekungan Sumatra tengah dimulai pada awal tersier (Paleogen), mengikuti proses pembentukan cekungan half graben yang sudah berlangsung sejak zaman Kapur hingga awal tersier.
Konfigurasi basement cekungan tersusun oleh batuan-batuan metasedimen berupa greywacke, kuarsit dan argilit. Batuan dasar ini diperkirakan berumur Mesozoik. Pada beberapa tempat, batuan metasedimen ini terintrusi oleh granit (Koning & Darmono, 1984 dalam Wibowo, 1995).

Secara umum proses sedimentasi pengisian cekungan ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :


Rift (Siklis Pematang)
Secara keseluruhan, sedimen pengisi cekungan pada fase tektonik ekstensional (rift) ini dikelompokkan sebagai Kelompok Pematang yang tersusun oleh batulempung, serpih karbonan, batupasir halus dan batulanau aneka warna. Lemahnya refleksi seismik dan amplitudo yang kuat pada data seismik memberikan indikasi fasies yang berasosiasi dengan lingkungan lakustrin.
Pengendapan pada awal proses rifting berupa sedimentasi klastika darat dan lakustrin dari Lower Red Bed Formation dan  Brown Shale Formation. Ke arah atas menuju fase late rifting, sedimentasi berubah sepenuhnya  menjadi lingkungan lakustrin dan diendapkan Formasi Pematang sebagai Lacustrine Fill sediments.
a)              Formasi Lower Red Bed
Tersusun oleh batulempung berwarna merah – hijau, batulanau, batupasir kerikilan dan sedikit konglomerat serta breksi yang tersusun oleh pebble kuarsit dan filit. Kondisi lingkungan pengendapan diinterpretasikan berupa alluvial braid-plain dilihat dari banyaknya muddy matrix di dalam konglomerat dan breksi
b)              Formasi Brown Shale
Formasi ini cukup banyak mengandung material organik, dicirikan oleh warna yang coklat tua sampai hitam. Tersusun oleh serpih dengan sisipan batulanau, di beberapa tempat terdapat selingan batupasir, konglomerat dan paleosol. Ketebalan formasi ini mencapai lebih dari 530 m di bagian depocenter.
Formasi ini diinterpretasikan diendapkan di lingkungan danau dalam dengan kondisi anoxic dilihat dari tidak adanya bukti bioturbasi. Interkalasi batupasir batupasir–konglomerat diendapkan oleh proses fluvial channel fill. Menyelingi bagian tengah formasi ini, terdapat beberapa horison paleosol yang dimungkinkan terbentuk pada bagian pinggiran/batas danau yang muncul ke permukaan (lokal horst), diperlihatkan oleh rekaman inti batuan di komplek Bukit Susah (gambar 6).
Secara tektonik, formasi ini diendapkan pada kondisi penurunan cekungan  yang cepat sehingga aktivitas fluvial tidak begitu dominan.
c)              Formasi Coal Zone
Secara lateral, formasi ini dibeberapa tempat equivalen dengan Formasi Brown Shale. Formasi ini tersusun oleh perselingan serpih dengan batubara dan sedikit batupasir.
Lingkungan pengendapan dari formasi ini diinterpretasikan berupa danau dangkal dengan kontrol proses fluvial yang tidak dominan. Ditinjau dari konfigurasi cekungannya, formasi ini diendapkan di daerah dangkal pada bagian aktif graben menjauhi depocenter (gambar 6).
d)              Formasi Lake Fill
Tersusun oleh batupasir, konglomerat dan serpih. Komposisi batuan terutama berupa klastika batuan filit yang dominan, secara vertikal terjadi penambahan kandungan litoklas kuarsa dan kuarsit. Struktur sedimen gradasi normal dengan beberapa gradasi terbalik mengindikasikan lingkungan pengendapan fluvial-deltaic.
Formasi ini diendapkan secara progradasi pada lingkungan fluvial menuju delta pada lingkungan danau. Selama pengendapan formasi ini, kondisi tektonik mulai tenang dengan penurunan cekungan yang mulai melambat (late rifting stage). Ketebalan formasi mencapai 600 m.
e)              Formasi Fanglomerate
Diendapkan disepanjang bagian turun dari sesar sebagai seri dari endapan aluvial. Tersusun oleh batupasir, konglomerat, sedikit batulempung berwarna hijau sampai merah. Baik secara vertikal maupun lateral, formasi ini dapat bertransisi menjadi formasi Lower Red Bed, Brown Shale, Coal Zone dan Lake Fill.
           
Di beberapa daerah sepertihalnya di Sub-Cekungan Aman, dua formasi terakhir (Lake Fill dan Fanglomerat) dianggap satu kesatuan yang equivalen dengan Formasi Pematang berdasarkan sifat dan penyebarannya pada penampang seismik.

Sag
Secara tidak selaras diatas Kelompok Pematang diendapkan sedimen Neogen. Fase sedimentasi ini diawali oleh episode transgresi yang diwakili oleh Kelompok Sihapas dan mencapai puncaknya pada Formasi Telisa.

(Siklis Sihapas è transgresi awal)
Kelompok Sihapas yang terbentuk pada awal episode transgresi terdiri dari Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan Formasi Duri. Kelompok ini tersusun oleh batuan klastika lingkungan fluvial-deltaic sampai laut dangkal. Pengendapan kelompok ini berlangsung pada Miosen awal – Miosen tengah.
a)              Formasi Menggala
Tersusun oleh batupasir konglomeratan dengan ukuran butir kasar berkisar dari gravel hingga ukuran butir sedang. Secara lateral, batupasir ini bergradasi menjadi batupasir sedang hingga halus. Komposisi utama batuan berupa kuarsa yang dominan, dengan struktur sedimen trough cross-bedding dan erosional basal scour. Berdasarkan litologi penyusunnya diperkirakan diendapkan pada fluvial-channel lingkungan braided stream.
Formasi ini dibedakan dengan Lake Fill Formation dari kelompok Pematang bagian atas berdasarkan tidak adanya lempung merah terigen pada matrik (Wain et al., 1995). Ketebalan formasi ini mencapai 250 m, diperkirakan berumur awal Miosen bawah.
b)              Formasi Bangko
Formasi ini tersusun oleh serpih karbonan dengan perselingan batupasir halus-sedang. Diendapkan pada lingkungan paparan laut terbuka. Dari fosil foraminifera planktonik didapatkan umur N5 (Blow, 1963). Ketebalan maksimum formasi kurang lebih 100 m.
c)              Formasi Bekasap
Formasi ini tersusun oleh batupasir masif berukuran sedang-kasar dengan sedikit interkalasi serpih, batubara dan batugamping. Berdasarkan ciri litologi dan fosilnya, formasi ini diendapkan pada lingkungan air payau dan laut terbuka. Fosil pada serpih menunjukkan umur N6 – N7. Ketebalan seluruh formasi ini mencapai 400 m.
d)             Formasi Duri
Di bagian atas pada beberapa tempat, formasi ini equivalen dengan formasi Bekasap. Tersusun oleh batupasir halus-sedang dan serpih. Ketebalan maksimum mencapai 300 m. Formasi ini berumur N6 – N8.

(Formasi Telisa è transgresi akhir)
Formasi Telisa yang mewakili episode sedimentasi pada puncak transgresi tersusun oleh serpih dengan sedikit interkalasi batupasir halus pada bagian bawahnya. Di beberapa tempat terdapat lensa-lensa batugamping pada bagian bawah formasi. Ke arah atas, litologi berubah menjadi serpih mencirikan kondisi lingkungan yang lebih dalam. Diinterpretasikan lingkungan pengendapan formasi ini berupa lingkungan Neritik – Bathyal atas.
Secara regional, serpih marine dari formasi ini memiliki umur yang sama dengan Kelompok Sihapas, sehingga kontak Formasi Telisa dengan dibawahnya adalah transisi fasies litologi yang berbeda dalam posisi stratigrafi dan tempatnya. Ketebalan formasi ini mencapai 550 m, dari analisis fosil didapatkan umur N6 – N11.


(Formasi Petani è regresi)
Tersusun oleh serpih berwarna abu-abu yang kaya fosil, sedikit karbonatan dengan beberapa lapisan batupasir dan batulanau. Secara vertikal, kandungan tuf dalam batuan semakin meningkat.
Selama pengendapan satuan ini, aktivitas tektonik kompresi dan volkanisme kembali aktif (awal pengangkatan Bukit Barisan), sehingga dihasilkan material volkanik yang melimpah. Kondisi air laut global (eustasi) berfluktuasi secara signifikan dengan penurunan muka air laut sehingga terbentuk beberapa ketidakselarasan lokal di beberapa tempat. 
Formasi ini diendapkan pada episode regresif secara selaras diatas Formasi Telisa. Walaupun demikian, ke arah timur laut secara lokal formasi ini memiliki kontak tidak selaras dengan formasi di bawahnya. Ketebalan maksimum formasi ini mencapai 1500 m, diendapkan pada Miosen tengah– Pliosen.

INVERSI
Pada akhir tersier terjadi aktivitas tektonik mayor berupa puncak dari pengangkatan Bukit Barisan yang menghasilkan ketidakselarasan regional pada Plio-Pleistosen. Aktivitas tektonik ini mengakibatkan terjadinya inversi struktur sesar turun menjadi sesar naik. Pada fase tektonik inversi ini diendapkan Formasi Minas yang tersusun oleh endapan darat dan aluvium berupa konglomerat, batupasir, gravel, lempung dan aluvium berumur Pleistosen – Resen.

 CEKUNGAN SUMATRA SELATAN
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.
Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan (depression) yang dikelilingi oleh tinggian-tinggian batuan Pratersier. Pengangkatan Pegunungan Barisan terjadi di akhir Kapur disertai terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting). Selain Pegunungan Barisan sebagai pegunungan bongkah (block mountain) beberapa tinggian batuan tua yang masih tersingkap di permukaan adalah di Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan Duabelas, Pulau Lingga dan Pulau Bangka yang merupakan sisa-sisa tinggian "Sunda Landmass", yang sekarang berupa Paparan Sunda. Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu yang pertama adalah pada Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan yang ketiga pada Plio-Plistosen. Orogenesis Plio-Plistosen menghasilkan kondisi struktur geologi seperti terlihat pada saat ini. Tektonik dan struktur geologi daerah Cekungan Sumatera Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu, Zone Sesar Semangko, zone perlipatan yang berarah baratlaut-tenggara dan zona sesar-sesar yang berhubungan erat dengan perlipatan serta sesar-sesar Pratersier yang mengalami peremajaa.
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat laut – tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah.Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (Blake, 1989)

Tektonik Regional, Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.

Menurut Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia. Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen.


Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara – selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .

       STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATRA BAGIAN SELATAN
Stratigrafi daerah Cekungan Sumatera Selatan telah banyak dibahas oleh para ahli geologi terdahulu, khususnya yang bekerja dilingkungan perminyakan. Pada awalnya pembahasan dititik beratkan pada sedimen Tersier, umumnya tidak pernah diterbitkan dan hanya berlaku di lingkungan sendiri.
Peneliti terdahulu telah menyusun urutan-urutan stratigrafi  umum Cekungan Sumatera Selatan, antara lain : Van Bemmelen (1932), Musper (1937), Marks (1956), Spruyt (1956), Pulunggono (1969), De Coster 2(1974), Pertamina (1981).
Berdasarkan peneliti-peneliti terdahulu, maka Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan Kuarter.

1.      Batuan Pra-Tersier
Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan dasar cekungan sedimen Tersier. Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen (De Coster, 1974) Westerveld (1941), membagi batuan berumur Paleozoikum (Permokarbon) berupa slate dan yang berumur Mesozoikum (Yurakapur) berupa seri fasies vulkanik dan seri fasies laut dalam. Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan telah mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak orogenesa Mesozoikum Tengah (De Coster, 1974).

2.      Batuan Tersier
Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa (De Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut disebut Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai (KAF).
a.      Formasi Lahat (LAF)
            Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas batuan dasar, yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang secara berangsur berubah keatas menjadi batu lempung tufan. Selain itu breksi andesit berselingan dengan lava andesit, yang terdapat dibagian bawah. Batulempung tufan, segarnya berwarna hijau dan lapuknya berwarna ungu sampai merah keunguan. Menurut De Coster (1973) formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat, batulempung, batupasir tufan, konglomeratan dan  breksi yang berumur Eosen Akhir hingga Oligosen Awal. Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan. Ketebalan dan litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya karena bentuk cekungan yang tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen hingga Miosen Awal, tejadi kegiatan vulkanik yang menghasilkan andesit (Westerveld, 1941 vide of side katilli 1941), kegiatan ini mencapai puncaknya pada umur Oligosen Akhir sedangkan batuannya disebut sebagai batuan “Lava Andesit tua” yang juga mengintrusi batuan yang diendapkan pada Zaman Tersier Awal.

b.      Formasi Talang Akar (TAF)
Nama Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin, 1952) nama lain yang pernah digunakan adalah Houthorizont (Musper, 1937) dan Lower Telisa Member (Marks, 1956). Formasi Talang akar dibeberapa tempat bersentuhan langsung secara tidak selaras dengan batuan Pra Tersier. Formasi ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi Lahat (De Coster, 1974), hubungan itu disebut rumpang stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan stratigrafi diantara kedua formasi tersebut selaras terutama dibagian tengahnya, ini diperoleh dari data pemboran sumur Limau yang terletak disebelah Barat Daya Kota Prabumulih (Pertamina, 1981), Formasi Talang Akar dibagi menjadi dua, yaitu : Anggota “Gritsand” terdiri atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian bawah kasar dan semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas batupasir ini berubah menjadi batupasir konglomeratan atau breksian. Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan mengandung mika, terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat dengan batubara, pada anggota ini terdapat sisa-sisa tumbuhan dan batubara, ketebalannya antara 40 – 830 meter. Sedimen-sedimen ini merupakan endapan fluviatil sampai delta (Spruyt, 1956), juga masih menurut Spruyt (1956) anggota transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selang-seling batupasir kuarsa berukuran halus sampai sedang dan batulempung serta lapisan batubara. Batupasir pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping tipis dan batupasir gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih. Anggota ini mengandung fosil-fosil Molusca, Crustacea, sisa ikan foram besar dan foram kecil, diendapkan pada lingkungan paralis, litoral, delta, sampai tepi laut dangkal dan berangsur menuju laut terbuka kearah cekungan. Formasi ini berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan formasi  ini pada bagian selatan cekungan mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian utara cekungan mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter (De Coster, 1974).
c.       Formasi Baturaja (BRF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar. Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir gampingan. Di gunung Gumai tersingkap dari bawah keatas berturut-turut napal tufaan, lapisan batugamping koral, batupasir napalan kelabu putih, batugamping ini mengandung foram besar antara lain Spiroclypes spp, Eulipidina Formosa Schl, Molusca dan lain sebagainya. Ketebalannya antara 19 - 150 meter dan berumur Miosen Awal. Lingkungan Pengendapannya adalah laut dangkal. Penamaan Formasi Baturaja pertama kali dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932) sebagai “Baturaja Stage”, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden Kalk” (v.d. Schilden, 1949; Martin, 1952), “Midle Telisa Member” (Marks, 1956), Baturaja Kalk Sten Formatie (Spruyt, 1956) dan Telisa Limestone (De Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi Baturaja adalah di pabrik semen Baturaja (Van Bemelen, 1932).

d.      Formasi Gumai (GUF)
Formasi ini diendapkan setelah Formasi Baturaja dan merupakan hasil pengendapan sedimen-sedimen yang terjadi pada waktu genang laut mencapai puncaknya. Hubungannya dengan Formasi Baturaja pada tepi cekungan atau daerah dalam cekungan yang dangkal adalah selaras, tetapi pada beberapa tempat di pusat-pusat cekungan atau pada bagian cekungan yang dalam terkadang menjari dengan Formasi Baturaja (Pulonggono, 1986). Menurut Spruyt (1956) Formasi ini terdiri atas napal tufaan berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap. Kadang-kadang terdapat lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff, breksi tuff, lempung serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment pada formasi ini banyak mengandung Globigerina spp, dan napal yang mengeras. Westerfeld (1941) menyebutkan bahwa lapisan-lapisan Telisa adalah seri monoton dari serpih dan napal yan mengandung Globigerina sp dengan selingan tufa juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari formasi ini adalah Awal Miosen Tengah (Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan menurut Pulonggono (1986) berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah (N9 – N12).

e.       Formasi Air Benakat (ABF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari siklus pengendapan Kelompok Palembang, yaitu pada saat permulaan dari endapan susut laut. Formasi ini berumur dari Miosen Akhir hingga Pliosen. Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, sedikit atau banyak lempung tufaan yang berselang-seling dengan batugamping napalan atau batupasirnya semakin keatas semakin berkurang kandungan glaukonitnya. Pada formasi ini dijumpai Globigerina spp, tetapi banyak mengadung Rotalia spp. Pada bagian atas banyak dijumpai Molusca dan sisa tumbuhan. Di Limau, dalam penyelidikan Spruyt (1956) ditemukan serpih lempungan yang berwarna biru sampai coklat kelabu, serpih lempung pasiran dan batupasir tufaan. Di daerah Jambi ditemukan berupa batulempung kebiruan, napal, serpih pasiran dan batupasir yang mengandung Mollusca, glaukonit kadang-kadang gampingan. Diendapkan dalam lingkungan pengendapan neritik bagian bawah dan berangsur kelaut dangkal bagian atas (De Coster, 1974). Ketebalan formasi ini berkisar 250 – 1550 meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut Musper (1937), terletak diantara Air Benakat dan Air Benakat Kecil (kurang lebih 40 km sebelah utara-baratlaut Muara Enim (Lembar Lahat). Nama lainnya adalah “Onder Palembang Lagen” (Musper, 1937), “Lower Palembang Member” (Marks, 1956), “Air Benakat and en Klai Formatie” (Spruyt, 1956).




f.       Formasi Muara Enim (MEF)
Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas Formasi Air Benakat. Formasi ini dapat dibagi menjadi dua anggota “a” dan anggota “b”. Anggota “a” disebut juga Anggota Coklat (Brown Member) terdiri atas batulempung dan batupasir coklat sampai coklat kelabu, batupasir berukuran halus sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan batubara. Anggota “b” disebut juga Anggota Hijau Kebiruan (Blue Green Member) terdiri atas batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru hijau, beberapa lapisan batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar halus berwarna putih sampai kelabu terang. Pada anggota “a” terkadang dijumpai kandungan Foraminifera dan Mollusca selain batubara dan sisa tumbuhan, sedangkan pada anggota “b” selain batubara dan sisa tumbuhan tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau Haplophragmoides spp (Spruyt, 1956). Ketebalan formasi ini sekitar 450 -750 meter. Anggota “a” diendapkan pada lingkungan litoral yang berangsur berubah kelingkungan air payau dan darat (Spruyt, 1956). Lokasi tipenya terletak di Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat (Tobler, 1906)

g.      Formasi Kasai (KAF)
Formasi ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan Adiwijaya, 1973). Pada bagian bawah terdiri atas batupasir tufan dengan beberapa selingan batulempung tufan, kemudian terdapat konglomerat selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufan dan batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu terkersikkan berstruktur sediment silang siur, lignit terdapat sebagai lensa-lensa dalam batupasir dan batulempung tufan (Spruyt, 1956). Tobler (1906) menemukan moluska air tawar Viviparus spp dan Union spp, umurnya diduga Plio-Plistosen. Lingkungan pengendapan air payau sampai darat. Satuan ini terlempar luas dibagian timur Lembar dan tebalnya mencapai 35 meter.

3.      Satuan Endapan Alluvial
Penyebaran satuan ini meliputi daerah sungai dan tepian sungai-sungai besar berupa meander-meander ditengah dan ditepi sungai. Ketebalan endapan alluvial ini bervariasi, dan satuan ini terdiri dari hasil rombakan beku, batuan sedimen, batuan metamorf yang bersifat lepas berukuran pasir halus hingga kerakal.

CEKUNGAN BENGKULU
Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan forearc artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore – arc; arc = jalur volkanik). Tetapi, kita menyebutnya demikian berdasarkan posisi geologinya saat ini. Apakah posisi tersebut sudah dari dulu begitu? Belum tentu, dan inilah yang harus kita selidiki. Publikasi-publikasi dari Howles (1986), Mulhadiono dan Asikin (1989), Hall et al. (1993) dan Yulihanto et al. (1995)—semuanya di proceedings IPA baik untuk dipelajari soal Bengkulu Basin.

Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan (dalam hal ini adalah volcanic arc-nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidak ada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc-nya sendiri tidak ada.

Begitulah yang selama ini diyakini, yaitu bahwa pada sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat itulah, Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan Cekungan Sumatera Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur). 

Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan Sumatera Selatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang, Lematang, dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu-terumbu karbonat yang masifghlighter.

pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (para operator yang pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga). Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak diendapkan sedimen-sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.

Secara tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu—yaitu Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang terangkat. Karena pada Neogen, Cekungan Bengkulu menjadi diapit oleh dua sistem sesar besar yang memanjang di sebelah barat Sumatera, yaitu Sesar Sumatera (Semangko) di daratan dan Sesar Mentawai di wilayah offshore, sedikit di sebelah timur pulau-pulau busur luar Sumatera (Simeulue-Enggano). Kedua sesar ini bersifat dextral. Sifat pergeseran (slip) yang sama dari dua sesar mendatar yang berpasangan (couple strike-slip atau duplex) akan bersifat trans-tension atau membuka wilayah yang diapitnya. Dengan cara itulah semua cekungan forearc di sebelah barat Sumatera yang diapit dua sesar besar ini menjadi terbuka oleh sesar mendatar (trans-tension pull-apart opening) yang mengakibatkan cekungan-cekungan ini tenggelam sehingga punya ruang untuk mengembangkan terumbu karbonat Neogen yang masif asalkan tidak terlalu dalam.

Di cekungan-cekungan forearc utara Bengkulu (Mentawai, Sibolga, Meulaboh) pun berkembang terumbu-terumbu Neogen yang masif akibat pembukaan dan penenggelaman cekungan-cekungan ini. Dan, dalam dunia perminyakan terumbu-terumbu inilah yang sejak akhir 1960-an telah menjadi target-target pemboran eksplorasi. Sayangnya, sampai saat ini belum berhasil ditemukan cadangan yang komersial, hanya ditemukan gas biogenik dan oil show (Dobson et al., 1998 dan Yulihanto, 2000—proceedings IPA untuk keterangan Mentawai dan Sibolga Basins).

Cekungan Bengkulu merupakan salah satu dari dua cekungan forearc di Indonesia yang paling banyak dikerjakan operator perminyakan (satunya lagi Cekungan Sibolga-Meulaboh). Meskipun belum berhasil menemukan minyak atau gas komersial, tidak berarti cekungan-cekungan ini tidak mengandung migas komersial. Sebab, target-target pemboran di wilayah ini (total sekitar 30 sumur) tak ada satu pun yang menembus target Paleogen dengan sistem graben-nya yag telah terbukti produktif di Cekungan-Cekungan Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan.





CEKUNGAN KUTAI

REGIONAL
ekungan Kutai dibatasi oleh Paternoster platform, Barito Basin, dan Pegunungan Meratus ke selatan, dengan Schwaner Blok ke barat daya, lalu Tinggian Mangkalihat di sebelah utara - timur laut, dan Central Kalimantan Mountains (Moss dan Chambers, 1999) untuk barat dan utara
(Gambar 2.1). Cekungan Kutai memiliki sejarah yang kompleks (Moss et al., 1997), dan merupakan satu - satunya cekungan Indonesia yang telah berevolusi dari internal rifting fracture/foreland basin ke marginal-sag.. Sebagian besar produk awal pengisi Cekungan Kutai telah terbalik dan diekspos (Satyana et al., 1999), pada Miosen Tengah sampai Miosen Akhir sebagai akibat dari terjadinya tumbukan / kolusi block Micro Continent.
Dari peristiwa ini menyebabkan adanya pengangkatan cekungan, perubahan sumbu antiklin dan erosi permukaan yang mengontrol sedimentasi pada Delta Mahakam. Delta Mahakam terbentuk di mulut sungai Mahakam sebelah timur pesisir pulau Kalimantan. Dengan garis pantainya berorientasi arah NE-SW dan dibatasi oleh Selat Makasar, selat yang memisahkan pulau Kalimantan dan Sulawesi.


STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN KUTAI
Satyana et all, 1999 dalam An Outline Of The Geology Of Indonesia, 2001 melakukan penelitian dan menyusun stratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke muda sebagai berikut :

1)                  Formasi Beriun
Formasi Beriun terdiri dari batulempung, selang seling batupasir dan batugamping. Formasi Beriun berumur Eosen Tengah – Eosen Akhir dan diendapkan dalam lingkungan fluviatil hingga litoral.
2)                  Formasi Atan
Diatas Formasi Beriun terendapkan Formasi Atan yang merupakan hasil dari pengendapan setelah terjadi penurunan cekungan dan pengendapan padaFormasi Beriun. Formasi Atan terdiri dari batugamping dan batupasir kuarsa. Formasi Atan berumur Oligosen Awal.
3)                  Formasi Marah
Formasi Marah Diendapakan secara selaras diatas Formasi Atan. Formasi Marah terdiri dari batulempung, batupasir kuarsa dan batugamping berumur Oligosen Akhir.
4)                  Formasi Pamaluan
Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Akhir di lingkungan neritik, dengan ciri litologi batulempung, serpih, batugamping, batulanau dan sisipan batupasir kuarsa. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan delta hingga litoral.

5)                  Formasi Bebulu
Diendapkan pada kala Miosen Awal hingga Miosen Tengah di lingkungan neritik. Ciri litologi Formasi Bebulu adalah batugamping.
6)                  Formasi Pulubalang
Formasi Pulubalang diendapkan selaras di atas Formasi Pamaluan, terdiri dari atas selang-seling pasir lanauan dengan disipan batugamping tipis dan batulempung. Umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah dan diendapkan pada lingkungan sub litoral, kadang-kadang dipengaruhi oleh marine influx . Formasi ini mempunyai hubungan menjari dengan Formasi Bebulu yang tersusun oleh batugamping pasiran dengan serpih
7)                  Formasi Balikpapan
Formasi Balikpapan diendapkan secara selaras di atas Formasi Pulubalang. Formasi ini terdiri dari selang seling antara batulempung dan batupasir dengan sisipan batubara dan batugamping di bagian bawah. Data pemboran yang pernah dilakukan di Cekungan Kutai membuktikan bahwa Formasi Balikpapan diendapkan dengan sistem delta, pada delta plain hingga delta front . Umur formasi ini Miosen Tengah  – Miosen Akhir.
8)                  Formasi Kampungbaru
Formasi Kampung Baru ini berumur Mio-Pliosen, terletak di atas Formasi Balikpapan, terdiri dari selang-seling batupasir, batulempung dan batubara dengan disipan batugamping tipis sebagai marine influx . Lingkungan pengendapan formasi ini adalah delta.
9)                  Formasi Mahakam
Formasi Mahakam terbentuk pada kala Pleistosen  –sekarang. Proses pengendapannya masih berlangsung hingga saat ini, dengan ciri litologi material lepas berukuran lempung hingga pasir halus.

STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN KUTAI

Seperti halnya beberapa cekungan di Asia Tenggara lainnya, half graben terbentuk selama Eosen sebagai akibat dari fase ekstensional atau pemekaran regional (Allen dan Chambers, 1998). Pemekaran ini merupakan manifestasi tumbukan sub lempeng Benua India dengan lempeng Benua Asia yang memacu pemekaran di sepanjang rangkaian strike-slip fault dengan arah baratlaut-tenggara (NW-SE) yang merupakan reaktifasi struktur sebelumnya, yaitu sesar Adang- Lupar dan sesar Mangka.

Cekungan ini mulai terisi endapan sedimen transgresif pada kala Eosen Akhir hingga Oligosen. Kemudian diikuti oleh sekuen regresif pada kala Miosen Awal yang merupakan inisiasi kompleks Delta Mahakam saat ini. Proses progadasi Delta Mahakam meningkat dengan sangat signifikan pada kala Miosen Tengah, yaitu ketika tinggian Kuching di bagian Barat terangkat dan inversi pertama terjadi. Progradasi tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Inversi Kedua terjadi pada masa Mio-Pliosen, ketika bagian lempeng Sula-Banggai menabrak Sulawesi dan menghasilkan mega shear Palu-Koro.

Pembentukan dan perkembangan struktur utama yang mengontrol sub Cekungan Kutai Bawah erat kaitannya dengan proses tektonik Inversi Kedua, yaitu struktur-struktur geologi dengan pola kelurusan arah timurlaut-baratdaya (NNE-SSW). Menurut Allen dan Chambers, (1998) pola ini dapat terlihat pada struktur umum yang tersingkap di Cekungan Kutai saat ini, yaitu berupa jalur sesar-sesar anjakan dan kompleks rangkaian antiklin /antiklinorium.

Perkembangan struktur lainnya adalah pola kelurusan berarah barat-laut-tenggara (NW-SE), berupa sesar-sesar normal yang merupakan manifestasi pelepasan gaya utama yang terbentuk sebelumnya. Sesar-sesar ini terutama berada di bagian utara cekungan, memotong sedimen berumur Miosen Tengah dan bagian lain yang berumur lebih tua.
Tatanan tectonic cekungan kutai dapat diringkas sebagai berikut :
·         Awal Synrift (Paleosen ke Awal Eosen): Sedimen tahap ini terdiri dari sedimen aluvial mengisi topografi NE-SW dan NNE-SSW hasil dari trend rifting di Cekungan Kutai darat. Mereka menimpa di atas basemen kompresi Kapur akhir sampai awal Tersier berupa laut dalam sekuen.
·         Akhir Synrift (Tengah sampai Akhir Eosen): Selama periode ini, sebuah transgresi besar terjadi di Cekungan Kutai, sebagian terkait dengan rifting di Selat Makassar, dan terakumulasinya shale bathial sisipan sand .
·         Awal Postrift (Oligosen ke Awal Miosen): Selama periode ini, kondisi bathial terus mendominasi dan beberapa ribu meter didominasi oleh akumulasi shale. Di daerah structural shallow area platform karbonat berkembang
·         Akhir Postrift (Miosen Tengah ke Kuarter): Dari Miosen Tengah dan seterusnya sequence delta  prograded secara major berkembang terus ke laut dalam Selat Makassar, membentuk sequence Delta Mahakam, yang merupakan bagian utama pembawa hidrokarbon pada cekungan. Berbagai jenis pengendapan delta on  – dan offshore berkembang pada formasi Balikpapan dan Kampungbaru, termasuk juga fasies slope laut dalam dan fasies dasar cekungan. Dan juga hadir batuan induk dan reservoir yang sangat baik dengan interbedded sealing shale. Setelah periode ini, proses erosi ulang sangat besar terjadi pada bagian sekuen Kutai synrift.

CEKUNGAN TARAKAN
Cekungan Tarakan, sesuai namanya berada di sekitar Pulau Tarakan. Pulau Tersebut secara geografis terletak di daerah Tarakan, dan Sekitarnya, Provinsi Kalimantan Timur, sekitar 240 km arah Utara – Timur Laut dari Balikpapan. Secara geologis pulau ini terletak di bagian tengah dari Cekungan Tarakan yang merupakan bagian dari NE Kalimantan Basin.

Pada dasarnya, wilayahnya Cekungan NE Kalimantan terbagi menjadi 4 grup Sub cekungan: Sub Cekungan Tidung, Sub Cekungan Berau, Sub Cekungan Muara, dan Sub Cekungan Tarakan.

Cekungan Tarakan berada pada bagian Utara dari Pulau Kalimantan.Luasnya mencapai 68.000 km2. Secara umum, bagian Utara dari cekungan ini dibatasi oleh paparan Mangkaliat, di bagian Timur dibatasi oleh Laut Sulawesi dan dibagian Barat dibatasi oleh Central Range Complex.
Cekungan Tarakan dapat dibagi menjadi beberapa sub-cekungan yaitu :

1.      Sub Cekungan Tidung
Sub Cekungan ini terletak paling utara dan berada di darat meluas ke Sabah dan berkembang pada kala Eosen Akhir sampai Miosen Tengah. Dipisahkan dari anak Cekungan Berau disebelah selatannya oleh Punggungan Latong. Terpisah   dari Tarakan oleh Paparan Sebuku, antiklin dan sesar naik berarah barat laut di sepanjang pantai dan dibatasi oleh sesar datar mengiri di Sempoa utara.


2.       Sub Cekungan Tarakan
Sub Cekungan ini berkembang terutama pada daerah lepas pantai yang diisi oleh endapan klastik tebal Plio-Pleistosen dengan pusat pengendapan disekitar Pulau Bunyu dan Tarakan serta telah mengalami pinchout dan onlap ke arah barat
dan selatan.

3.       Sub Cekungan Muara
Sub Cekungan ini terletak di lepas pantai Tinggian Mangkalihat. Mempunyai pusat pengendapan paling selatan, berkembang di lepas pantai. Dibatasi oleh sesar-sesar mendatar sejajar berarah barat laut, sesar Mangkalihat dan Maratua, sedimen-sedimen retakan dan passive margin, serta strukturisasi karbonat Oligosen-Recent pada bagian postrift, yang merupakan batuan induk pada umur Eosen.

4.       Sub Cekungan Berau
Sub Cekungan Berau terletak dibagian paling selatan Cekungan Tarakan yang berkembang dari Eosen sampai Miosen dan mempunyai sejarah pengendapan yang sama dengan Sub Cekungan Tidung. Struktur yang dominan yang terdapat di pulau Tarakan ini adalah patahan normal berarah Barat Laut hingga Utara dengan bidang patahan miring ke Timur. Sebagian dari patahan ini merupakan patahan tumbuh (growth fault) dengan antiklin (roll over). 
TEKTONIK
Cekungan Tarakan memiliki variasi sesar, elemen struktur dan trend. Sejarah tektonik cekungan Tarakan diawali denganfase ekstensi sejak Eosen Tengah yang membentuk wrench fault dengan arah NW – SE serta berpengaruh pada proses perekahan selat Makasar yang berhenti pada Miosen Awal. Fase tektonik awal ini merupakan fase pembukaan cekungan ke arah timur yang diindikasikan dengan adanya enechelon block faulting yang memiliki slope  ke arah timur (Gambar 3).

Dari Miosen Tengah hingga Pliosen merupakan kondisi yang lebih stabil dimana terendapkan sedimen dengan lingkungan delta yang menyebar dari beberapa sistem pola penyaluran dari barat ke timur. Contoh sungai yang memiliki hilir di daerah ini yaitu sungai Proto-Kayan, Sesayap, Sembakung dan beberapa lainnya. Pada fase ini cekungan mengalami subsidence akibat gravitasi beban dari endapan delta yang semakin banyak, sehingga terbentuk sesar listrik. Pertumbuhan struktur sesar disini mengindikasikan bahwa terjadi proses penyebaran endapan delta ke arah barat yang menjadi lebih sedikit dan mulai terendapkan karbonat. Pada bagian cekungan yang mengarah ke timur tersusun atas endapan delta yang tebal, yang berasosiasi dengan sesar normal syngenetik (sesar normal yang terbentuk bersamaan dengan pengendapan).

Fase akhir tektonik pada cekungan ini yaitu proses kompresi yang terjadi pada Plio – Pleistosen Akhir akibat dari kolisi lempeng Filipina dengan lempeng Borneo / Kalimantan Timur. Hal ini  mengaktifkan kembali struktur yang telah ada dan membalikkan arah beberapa patahan gravitasional. Akan tetapi gaya yang lebih kuat berada pada bagian utara cekungan dimana endapan Miosen dan Plosen menjadi terlipat dan terpatahkan dengan arah NW – SE hingga WNE – ESE. Pada bagian timur cekungan, fase kompresi ini membentuk struktur yang tinggi karena material endapan bersifat plastis sehingga membentuk antiklin Bunyu dan Tarakan.


Dari fase tektonik tersebut dipercaya bahwa deformasi yang terbentuk sejak awal proses tektonik merupakan pengontrol utama pembentukan cebakan hidrokarbon di cekungan Tarakan.

GEOLOGI REGIONAL STRATIGRAFI DAN SEDIMENTASI
Cekungan Tarakan tersusun oleh batuan berumur Tersier yang diendapkan di atas batuan dasar berumur PraTersier. Dinamika sedimentasi pada cekungan Tarakan diawali pada umur Eosen, pada awalnya Cekungan Tarakan merupakan wilayah daratan yang mengendapkan Formasi Sembakung – Formasi Sujau. Pada Oligosen terbentuk pola pengendapan transgresi yang didominasi oleh klastik kasar dan juga batuan karbonat (Formasi Seilor). Perkembangan sistem transgresi berlangsung terus hingga diendapkan sedimen halus (Formasi Nainputo) dan di beberapa tempat diendapkan batugamping terumbu (Formasi Tabular). Selanjutnya terjadi regresi hingga Cekungan mengalami pengangkatan, dan kemudian terendapkan sedimen klastik kasar yang sumbernya disebut sebagai Central Range Complex (LEMIGAS, 2006).
Lingkungan pengendapan berupa delta yang kompleks dan membentang  dari Barat ke Timur (Formasi Latih / Meliat). Formasi Tabul berada di sebelah Timur dyang merupakan bagian Prodeltas yang tersusun atas fasies batulempung. Pada Miosen akhir, terjadi pengangkatan di tinggian Kuching, sehingga mengangkat bagian Utara dari Cekungan Tarakan. Dan pada Pliosen terbentuk lingkungan delta kembali dan diendapkan Formasi Tarakan.
Stratigrafi dari cekungan tarakan, dari tua ke muda adalah sebagai berikut:

Formasi Sembakung
Batuan Tersier Awal terdiri atas Formasi Sembakung, yang menindih tak
selaras batuan alas Kapur Akhir, terdiri atas batuan silisiklastik karbonatan dari
lingkungan laut litoral hingga laut dangkal pada kala Eosen.

Formasi Sujau
Formasi Sujau terdiri dari sedimen klastik (konglomerat dan batupasir), serpih, dan volkanik. Klastika Formasi Sujau merepresentasikan tahap pertama pengisian cekungan “graben like” yang mungkin terbentuk sebagai akibat dari pemakaran Makassar pada Eosen Awal.
Litologi penyusun berupakonglomerat, batupasir, volkaniklastik dengan ketebalan 1000 meter. Struktur geologi yang berkembang sangatlah kompleks dan mengakibatkan daerah ini terlipat kuat.

Formasi Seilor
Batugamping mikritik dari Formasi Seilor diendapkan secara selaras di atas Formasi Sujau dan Formasi Mangkabua yang terdiri dari serpih laut dan napal yang berumur Oligosen menjadi penciri perubahan suksesi ke basinward.

Formasi Mangkabua
Pada formasi ini terjadi perubahan progradasional dari formasi Seilor (micrite limestone) menjadi batunapal yang tebal dan masif. Terdapat Nummulites fichteli (Marks, 1957) yang berumur Oligosen. Formasi ini tererosi intensif pada akhir Oligosen karena proses tektonik berupa pengangkatan yang diakibatkan aktivitas vulkanik.





CEKUNGAN BARITO

Secara tektonik Cekungan Barito terletak pada batas bagian tenggara dari Schwanner Shield, Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi oleh Tinggian Meratus pada bagian Timur dan pada bagian Utara terpisah dengan Cekungan Kutai oleh pelenturan berupa Sesar Adang, ke Selatan masih membuka ke Laut Jawa, dan ke Barat dibatasi oleh Paparan Sunda.
Cekungan Barito merupakan cekungan asimetrik, memiliki cekungan depan (foredeep) pada bagian paling Timur dan berupa platform pada bagian Barat. Cekungan Barito mulai terbentuk pada Kapur Akhir, setelah tumbukan (collision) antara microcontinent Paternoster dan Baratdaya Kalimantan (Metcalfe, 1996; Satyana, 1996).
Pada Tersier Awal terjadi deformasi ekstensional sebagai dampak dari tektonik konvergen, dan menghasilkan pola rifting Baratlaut – Tenggara. Rifting ini kemudian menjadi tempat pengendapan sedimen lacustrine dan kipas aluvial (alluvial fan) dari Formasi Tanjung bagian bawah yang berasal dari wilayah horst dan mengisi bagian graben, kemudian diikuti oleh pengendapan Formasi Tanjung bagian atas dalam hubungan transgresi.
Pada Awal Oligosen terjadi proses pengangkatan yang diikuti oleh pengendapan Formasi Berai bagian Bawah yang menutupi Formasi Tanjung bagian atas secara selaras dalam hubungan regresi. Pada Miosen Awal dikuti oleh pengendapan satuan batugamping masif Formasi Berai.
Selama Miosen tengah terjadi proses pengangkatan kompleks Meratus yang mengakibatkan terjadinya siklus regresi bersamaan dengan diendapkannya Formasi Warukin bagian bawah, dan pada beberapa tempat menunjukkan adanya gejala ketidakselarasan lokal (hiatus) antara Formasi Warukin bagian atas dan Formasi Warukin bagian bawah.
Pengangkatan ini berlanjut hingga Akhir Miosen Tengah yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya ketidakselarasan regional antara Formasi Warukin atas dengan Formasi Dahor yang berumur Miosen Atas – pliosen.
Tektonik terakhir terjadi pada kala Plio-Pliestosen, seluruh wilayah terangkat, terlipat, dan terpatahkan. Sumbu struktur sejajar dengan Tinggian Meratus. Sesar-sesar naik terbentuk dengan kemiringan ke arah Timur, mematahkan batuan-batuan tersier, terutama daerah-daerah Tinggian Meratus.

STATIGRAFI CEKUNGAN BARITO

Urutan stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda adalah :

 

·         Formasi Tanjung (Eosen – Oligosen Awal)

Formasi ini disusun oleh batupasir, konglomerat, batulempung, batubara, dan basalt. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral neritik.

·         Formasi Berai (Oligosen Akhir – Miosen Awal)     

Formasi Berai disusun oleh batugamping berselingan dengan batulempung / serpih di bagian bawah, di bagian tengah terdiri dari batugamping masif dan pada bagian atas kembali berulang menjadi perselingan batugamping, serpih, dan batupasir. Formasi ini diendapkan dalam lingkungan lagoon-neritik tengah dan menutupi secara selaras Formasi Tanjung yang terletak di bagian bawahnya. Kedua Formasi Berai, dan Tanjung memiliki ketebalan 1100 m pada dekat Tanjung.

·         Formasi Warukin (Miosen Bawah – Miosen Tengah)

Formasi Warukin diendapkan di atas Formasi Berai dan ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Dahor. Sebagian besar sudah tersingkap, terutama sepanjang bagian barat Tinggian Meratus, malahan di daerah Tanjung dan Kambitin telah tererosi. Hanya di sebelah selatan Tanjung yang masih dibawah permukaan.
Formasi ini terbagi atas dua anggota, yaitu Warukin bagian bawah (anggota klastik), dan Warukin bagian atas (anggota batubara). Kedua anggota tersebut dibedakan berdasarkan susunan litologinya.
Warukin bagian bawah (anggota klastik) berupa perselingan antara napal atau lempung gampingan dengan sisipan tipis batupasir, dan batugamping tipis di bagian bawah, sedangkan dibagian atas merupakan selang-seling batupasir, lempung, dan batubara. Batubaranya mempunyai ketebalan tidak lebih dari 5 m., sedangkan batupasir bias mencapai ketebalan lebih dari 30 m.
Warukin bagian atas (anggota batubara) dengan ketebalan maksimum ± 500 meter, berupa perselingan batupasir, dan batulempung dengan sisipan batubara. Tebal lapisan batubara mencapai lebih dari 40 m, sedangkan batupasir tidak begitu tebal, biasanya mengandung air tawar. Formasi Warukin diendapkan pada lingkungan neritik dalam (innerneritik) – deltaik dan menunjukkan fasa regresi.

·         Formasi Dahor (Miosen Atas – Pliosen)

Formasi ini terdiri atas perselingan antara batupasir, batubara, konglomerat, dan serpih yang diendapkan dalam lingkungan litoral – supra litoral.

CEKUNGAN JAWA-BARAT UTARA
NORTH WEST JAVA BASIN
A. ULASAN SINGKAT GEOLOGI REGIONAL
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai hydrocarbon province utama di wilayah Pertamina DOH JBB, Cirebon. Cekungan ini terletak di antara Paparan Sunda di Utara, Jalur Perlipatan – Bogor di Selatan, daerah Pengangkatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan Pulau Seribu di Barat. Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang berarah Utara – Selatan. Patahan yang berarah Utara - Selatan membagi cekungan menjadi graben atau beberapa sub-basin, yaitu Jatibarang, Pasir Putih, Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa tinggian basement, seperti Arjawinangun, Cilamaya, Pamanukan, Kandanghaur–Waled, Rengasdengklok dan Tangerang. Berdasarkan stratigrafi dan pola strukturnya, serta letaknya yang berada pada pola busur penunjaman dari waktu ke waktu, ternyata cekungan Jawa Barat telah mengalami beberapa kali fase sedimentasi dan tektonik sejak Eosen sampai dengan sekarang (Martodjojo, 2002). 

B. TEKTONOSTRATIGRAFI DAN STRUKTUR GEOLOGI
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di Utara dan darat (onshore) di Selatan (Darman dan Sidi, 2000). Seluruh area didominasi oleh patahan ekstensional (extensional faulting) dengan sangat minim struktur kompresional. Cekungan didominasi oleh rift yang berhubungan dengan patahan yang membentuk beberapa struktur deposenter (half graben), antara lain deposenter utamanya yaitu Sub-Cekungan Arjuna dan Sub-Cekungan Jatibarang, juga deposenter yang lain seperti : Sub-Cekungan Ciputat, Sub-Cekungan Pasirputih. Deposenter-deposenter itu didominasi oleh sikuen Tersier dengan ketebalan melebihi 5500 m.
            Struktur yang penting pada cekungan tersebut yaitu terdiri dari bermacam-macam area tinggian yang berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dan blok tinggian (horst block), lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama, keystone folding dan  mengena pada tinggian batuan dasar. Struktur kompresional hanya terjadi pada awal pembentukan rift pertama yang berarah relative barat laut-tenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada Oligosen. Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra Tersier hingga Plio-Pliostosen.

Fase tektonik tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Tektonik Pertama
Pada zaman Akhir Kapur awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat dilkasifikasikan sebagai  ‘Fore Arc Basin’ dengan dijumpainya orientasi struktural mulai dari Cileutuh, Sub Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan Muriah dan Cekungan Florence Barat yang mengindikasikan kontrol ‘Meratus Trend’. Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal sebagai Paleogen Extensional Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar menganan utama krataon Sunda akibat dari peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng Eurasia. Sesar-sesar ini mengawali pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Indonesia Bagian Barat dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin.
Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half gnraben system) da merupakan fase pertama rifting (Rifting I :  fill phase). Sedimen yang diendapkan pada rifting I ini disebut sebagai sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama fragmentasi, rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda. Dua trend sesar normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting-I  (early fill) berarah N 60o W – N 40o W dan hampir N – S yang dikenal sebagai Pola sesar Sunda. Pada masa ini terbentuk endapan lacustrin dan volkanik dari Formasi Jatibarang yang menutup rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talangakar. Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat Formasi Baturaja.

2.      Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligo-Miosen) dan dikenal sebagai Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya kompresif dari tumbukan Lempeng Hindia.Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktifasi dari sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.

Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur volkanik periode Miosen Awal yang sekarang ini terletak di lepas pantai selatan Jawa. Deretan gunungapi ini menghasilkan endapan gunungapi bawah laut yang sekarang dikenal sebagai “old andesite” yang tersebar di sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang merubah pola tektonik tua yang terjadi sebelumnya menjadi berarah barat-timur dan menghasilkan suatu sistem sesar naik, dimulai dari selatan (Ciletuh) bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem sesar naik belakang busur atau yang dikenal “thrust foldbelt system”.

3.      Tektonik Terakhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen – Pleistosen, dimana terjadi proses kompresi kembali dan membentuk perangkap-perangkap sruktur berupa sesar-sesar naik di jalur selatan Cekungan Jawa Barat Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi dan sesar naik Subang, sedangkan di jalur utara Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk sesar turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses migrasi hidrokarbon.
C. STRATIGRAFI REGIONAL 
Stratigrafi umum Jawa Barat Utara berturut-turut dari tua ke muda adalah sebagai berikut:
1.      Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al, 1995). Lingkungan Pengendapannya merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata, 1980).

2.   Formasi Jatibarang
Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian barat cekungan ini kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat, dan konglomerat alas. Formasi ini diendapkan pada fasies fluvial. Umur formasi ini adalah dari Kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal.  Pada beberapa tempat di Formasi ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-rekahan tuff (Budiyani, dkk, 1991).

3.   Formasi Talang Akar
Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar secara tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluvio-deltaic sampai faises marine. Litologi formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri oleh perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam fasies marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi ini diperkirakan berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun terendapkannya formasi ini terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.

4.   Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik yang berupa paparan maupun yang berkembang sebagai reef buildup manandai fase post rift yangs secara regional menutupi seluruh sedimen klastik Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada Kala Miosen Awal–Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari ada (terutama dari melimpahnya foraminifera Spriroclypens Sp).

5.   Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugamping kklastik serta batugamping terumbu yang berkembang secara setempat-setempat. Batugamping ini dikenali sebagai Mid Main Carbonate (MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Awal-Miosen Akhir. Formasi ini terbagi menjadi 3 Anggota, yaitu:
·         Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja. Litologi anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir dari halus-sedang. Pada massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan Patmosukismo, 1975).
·         Main
Anggota Main terendapkan secara selaras diatas Anggota Massive. Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya berkembang batugamping dan juga blangket-blangket pasir, dimana pada bagian ini Anggota Main terbagi lagi yang disebut dengan Mid Main Carbonat (Budiyani dkk,1991).
·         Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas Anggota Main. Litologinya adalah perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini terbentuk pada Kala Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-Neritik Dalam (Arpandi & Patmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan.

6.   Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas.. Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping klastik  maupun batugamping terumbu. Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah laut dangkal–neritik tengah (Arpandi & Patmosukismo, 1975). Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi. Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Akhir-Pliosen.

7.   Formasi Cisubuh

Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan. Umur formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir sampai Pliosen – Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral – paralik (Arpandi & Patmosukismo, 1975).
(Tabel Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara)
(sumber : Pertamina, 1996)
D. SEDIMENTASI CEKUNGAN
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala Eosen Tengah – Oligosen Awal (fase transgresi) yang menghasilkan sedimentasi vulkanik darat – laut dangkal dari Formasi Jatibarang. Pada saat itu aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini berhubungan dengan interaksi antar lempeng di sebelah selatan Pulau Jawa, akibatnya daerah-daerah yang masih labil sering mengalami aktivitas tektonik. Material-material vulkanik dari arah timur mulai diendapkan.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala Oligosen Akhir – Miosen Awal yang menghasilkan sedimen trangresif transisi – deltaik hingga laut dangkal yang setara dengan Formasi Talang Akar pada awal permulaan periode. Daerah cekungan terdiri dari dua lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat paralic sedangkan bagian timur merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi anak cekungan Ciputat masih aktif. Kemudian air laut menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen Awal mulai dari bagian barat laut terus ke arah tenggara menggenangi beberapatinggian kecuali tinggian Tangerang. Dari tinggian-tinggian ini sedimen-sedimen klastik yang dihasilkan setara dengan formasi Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relative stabil, dan daerah Pamanukan sebelah barat merupakan platform yang dangkal, dimana karbonat berkembang baik sehingga membentuk setara dengan formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang lebih dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan Jawa Barat Utara diendapkan sediment-sedimen laut dangkal dari formasi Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari formasi Cibulakan Atas diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut. Pada akhir Miosen Tengah kembali menjauhi kawasan yang stabil,  batugamping berkembang dengan baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir – Pliosen (fase regresi) merupakan fase pembentukan Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan mengalami sedikit perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang masuk kedalam lingkungan paralik.
Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk pengangkatan sumbu utama Jawa. Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas vulkanisme yang meningkat dan juga diikuti pembentukan struktur utama Pulau Jawa. Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-tiba sehingga mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.

CEKUNGAN JAWA TIMUR

GEOMORFOLOGI
Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras.

Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat – Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo.


STRATIGRAFI

Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur – Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949).

Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala tektonik Tersier Muda.

Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra – Tersier di daerah pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949).

Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan yang berada pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.

Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).

Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks (1957), Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).

Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra – Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran,

Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing – masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut :

1. Formasi Tawun
Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.

2. Formasi Ngrayong
Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen Tengah.

3. Formasi Bulu
Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang dijumpai adanya sisipan batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya sisipan napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral kwarsa mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50 – 100 meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.
4. Formasi Wonocolo
Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937, kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100 – 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir bagian tengah.

STRUKTUR GEOLOGI
Pada masa sekarang (Neogen – Resen), pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa dan sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman (convergent zone), antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia – Australia (Hamilton, 1979, Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).

Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85 – 65 juta tahun yang lalu) sampai sekarang (Pulonggono, 1990). Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa Timur mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen – Oligosen), yang berorientasi Timur Laut – Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang busur, mengalami rejim tektonik regangan yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra – Tersier menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut – Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi sesar – sesar di batuan dasar, horst atau sesar – sesar anjak dan graben atau sesar tangga. Dan pada jaman Neogen (Miosen – Pliosen) berubah menjadi relatif Timur – Barat (searah dengan memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar – sesar anjak dan menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio – Pleistosen) (Pulonggono, 1994). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang tersingkap.

Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang – Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable Platform) dan Zona Depresi Randublatung.
Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat – Timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah Timur Laut – Barat Daya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur – Barat.
Zona pegunungan Rembang – Madura (Northern Java Hinge Belt) dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang Anticlinorium) dan bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium).
Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat dibandingkan dengan di bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai Formasi Tawun, bahkan kadang – kadang sampai Kujung Bawah. Di bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur – struktur Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong.
Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh dua jalur positif yang jelas berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif sebelah Utara terdapat lapangan – lapangan minyak yang penting di Jawa Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan termasuk juga antiklin – antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan Tambakromo. Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat antiklinal-antiklinal / struktur-struktur Gabus, Trembes, Kluweh, Kedinding – Mundu, Balun, Tobo, Ngasem – Dander, dan Ngimbang High.
Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu : 
1.      Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut – Timur Tenggara. 
2.      Bagian Barat, yang masing – masing porosnya mempunyai arah Barat – timur dan secara umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur.

CEKUNGAN BUTON
PETA LOKASI
            Kepulauan Buton berlokasi di bagian timur Indonesia, tepatnya di pantai timur Sulawesi Tenggara. Stratigrafi dan struktur kepulauan  dibedakan dari Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Muna. Tetapi terdapat kesamaan antara Buton dan kepulauan di sebelahnya  pada Busur Banda, terutama Timor, Seram, dan Pulau Buru.
            Secara Administratif Kabupaten Buton terletak di posisi 4.30º - 7.0º LS dan 125º - 125º BT. Cekungan Buton memiliki batas-batas sebagai berikut :
§  Sebelah Utara                        : Pulau Wawoni
§  Sebelah Selatan         : Laut Flores
§  Sebelah Barat            : Kepulauan Muna dan Teluk Bone
§  Sebelah Timur            : Laut Banda
§  Sebelah Tenggara      : Platform Tukangbesi



FISIOGRAFI REGIONAL
Berdasarkan geomorfologinya fisiografi daerah Buton dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1.Bagian Selatan terdiri atas perbukitan dan lembah berarah timur laut dengan teras-teras reef yang terangkat dan topografi karst.

2.Bagian Tengah didominasi oleh pegunungan yang berarah utara sepanjang pantai barat, batuan sedimennya berarah timur laut.

3.Bagian Utara didominasi oleh pegunungan di tepi pantai yang memiliki bentuk menyerupai tapal kuda, pola pengalirannya berarah ke selatan menuju rawa mangrove pada cekungan lambele. Secara umum pegunungan-pegunungan yang ada berarah barat laut-tenggara yang memiliki relief rendah disertai dengan koral reef yang terangkat.
TEKTONIK REGIONAL
            Buton dipercaya terdiri atas 2 fragmen mikro kontinen yang berbeda dan terpisah. Satu berada pada bagian timur Pulau Buton dan Tukang Besi sedangkan yang satunya lagi berada pada bagian barat dari Pulau Buton dan Pulau Muna (Hamilton, 1979). Berdasarkan data geologi dan data geofisika baru-baru ini menunjukan bahwa Buton terdiri atas 3 fragmen  mikro kontinen berbeda yang memiliki hubungan juxtapose dengan daerah Buton, Pulau Buton, Muna/ SE Sulawesi, dan Tukang Besi. Stratigrafi pulau ini mengindikasikan bahwa setiap fragmen mikro kontinen memiliki posisi paleogeografi yang berbeda ketika Mesozoik dan Paleogen (De Smet, 1991).

Seperti kebanyakan pulau-pulau Banda Arc, Buton dianggap sebagai fragmen yang lepas dari kontinen Australia-New Guinea, terutama berdasarkan korelasi kesamaan fosil-fosil berumur Mesozoik, stratigrafi pre-rift, dan ketika rift. Banyak kesamaan pada sejarah tektonik dan stratigrafi mendukung kesamaan dari pembentukan Buru, Seram, Banggai-Sula, dan Timor (Audley-Charles et al., 1972; Price, 1976; Hamilton, 1979; Pilgram dan Panggabean, 1984; Gerrard et al., 1988; Katili, 1989; De Smet et al., 1991).

Sejarah tektonik dan stratigrafi dari kebanyakan pulau-pulau Banda Arc dicirikan oleh beberapa event. Event pre-rift dicrikan dengan pengendapan sedimen kontinen pada half-graben, rift event dicrikan dengan adanya pengangkatan, erosi, dan volkanisme lokal, event drift dicirikan dengan adanya subsidence dan pengendapan sedimen laut terbuka, dan sebuah event tumbukan (collision) berumur Neogen. Perbedaan yang mendasar antara setiap pulau hanyalah waktu dan durasi dari event-event individual tektonik dan stratigrafi.

Sedimentasi pada buton di kontrol oleh 4 tektonik event :
1.Pre-Rift Perm sampai Akhir Trias
Pengendapan dari sedimen kontinental pada half-graben, dicirikan dengan adanya pengangkatan, erosi, dan vulkanisme lokal. Terjadi penurunan dan pengendapan sedimen laut terbuka diikuti dengan neogen collision. Pada lapisan berumur trias di intrusi dike batuan beku dan menandakan awal dari rifting, pembentukan patahan ekstensional, dan regional subsidence.

  1. Rift-Drift Akhir Trias sampai Oligosen
Periode transisi menuju pada lingkungan laut terbuka dengan sedimentasi pada pasif margin terjadi pada pertengahan sampai akhir Jura hasil pengendapan klastik-klastik syn orogenic pada cekungan neogen merupakan hasil dari erosi dan sesar naik yang berarah timur akibat pengangkatan lapisan berumur Trias sampai Oligosen.

  1. Syn dan Post Orogenic awal Miosen sampai Pliosen terjadi subduksi, kompresi, dan deformasi hingga pertengahan Miosen pada bagian selatan menghasilkan pengangkatan dan erosi dari klastik-klastik syn orogenic berumur awal Miosen sehingga terbentuk unconformity secara regional. Collision dari Pulau Buton-Muna tidak mempengaruhi bagian utara Pulau Buton sampai pertengahan Miosen. Pada akhir pertengahan Miosen sampai akhir Miosen terjadi obduksi sehingga menghasilkan ketidakselarasan atau unconformity. Setelah pertengahan Miosen terjadi sistem sesar geser utama (Kioko) yang memapaskan sedimen dari dua lingkungan yang berbeda. Pada lima juta tahun yang lalu terjadi perubahan deformasi dan gaya struktural yang disebabkan oleh zona subduksi Buton terhadap Muna serta Buton terhadap Tukang Besi. Collision antara Buton dengan Tukang Besi terekam pada lapisan berumur akhir Pliosen, collision oblique ini menghasilkan pergerakan strike-slip dan dip-slip yang mengakibatkan pengangkatan dan subsidence lokal (Chamberlain et al.,1990; Fortuin et al., 1990) hingga saat ini.

  1. Resen Orogenic, selatan Buton sekarang mengalami pengangkatan sedangkan utaranya mengalami penurunan (de Smet et al., 1989). Mikrokontinen Buton pada saat ini juga mengalami transpressive strike-slip terhadap mikroplate Tukang Besi dan Muna, lempeng Buton bergerak ke arah utara. Orientasi en-echelon wrench fault dengan orientasi timur laut yang berhubungan dengan antiklin pada selat Buton mengindikasikan bahwa terjadi pengaktifan kembali paleo suture zone, pergerakan utamanya sinistral strike-slip.

STRUKTUR GEOLOGI
         Struktur geologi umumnya merupakan struktur antiklin dan sinklin serta beberapa struktur sesar yang terdiri atas sesar naik dan sesar normal, serta sesar mendatar.
Struktur antiklin-sinklin berarah Baratdaya-Timurlaut hingga Utara-Selatan. Struktur ini hampir mempengaruhi seluruh formasi dimana terlihat bahwa seluruh formasi yang ada mengalami pelipatan dengan sudut kemiringan lapisan batuan di bagian timur relatif lebih terjal dibanding dengan di bagian barat.
Sesar mendatar umumnya dijumpai di bagian selatan dan memotong Formasi Winto, Formasi Tondo, dan Formasi Sampolakosa. Arah sesar mendatar umumnya tegak lurus terhadap sumbu lipatan yaitu Baratlaut-Tenggara. Sedangkan sesar normal merupakan struktur yang terbentuk paling akhir sebagai struktur patahan sekunder.   
Berdasarkan data gravity regional dan orientasi timur laut-barat daya sesar naik yang berumur awal Miosen menunjukkan bahwa selatan pulau Buton mengalami rotasi 450 searah jarum jam. Waktu daripada rotasi belum dapat ditentukan tetapi kemungkinan disebabkan oleh kompresi pada pertengahan Miosen yang disebabkan tumbukan dari Buton-Muna/SE Sulawesi. Titik tumpuan atau rotasi berada pada di laut gian timur Buton pada Kulisusu Bay. 
 

KLASIFIKASI CEKUNGAN
Berdasarkan posisi subduksi plateform Tukang Besi terhadap Buton, Cekungan Buton termasuk ke dalam Fore Arc Basin. 

CEKUNGAN MIKROBENUA
DI INDONESIA TENGAH
           
            Cekungan di Indonesia Tengah berhubungan dengan Fragmen Benua yang disebut dengan Micro Continent  yang berinteraksi dengan kerak Samudra sekelilingnya sepanjang sesar geser. Tumbukan yang mengakibatkan sesar sungkup dan imbrikasi serta terjadinya subduksi dan obduksi yang komplek, sehingga melibatkan ophiolite.

SULAWESI
·         Cekungan Sulawesi Selatan (Kalosi Block)
Cekungan berada di atas kerak Benua Asia, Fragmen Sulawesi Selatan ini memisahkan diri dari Kalimantan. Cekungan dalam hal ini dapat dibagi atas: Cekungan Paleogen (sebagai Rift basin) dan Cekungan Neogen. Istilah cekungan dalan hal ini lebih ke Cekungan Struktur dibanding cekungan sedimenter. Cekungan sedimennya mneliputi seluruh Sulawesi Selatan, dalam hal ini termasuk lepaspantai di selat Makasar.

A.    Cekungan Malawa (Depressi Malanae)

B.     Cekungan Spermonde (Sulawesi Selatan, merupakan Carbonate shelf)

C.    Cekungan Sengkang (lingkungan Karbonat) East Sengkang Basin dipisahkan oleh sesar Walanae dari West Sengkang Basin lingkungan karbonat

D.    Kalosi-Mamuju; merupakan jalur lipatan Sesar sungkup (thrustbelt, seperti duplex)

E.     Cekungan Lariang
Perkembangan Tektonik Indonesia Tengah ini erat hubungannya dengan  tabrakan antara Australian Microcontinent;  Banggai dan Buton dengan Asian Microcontinent; Sulawesi Selatan. Tabrakan ini membentuk  subduksi di bawah Sulawesi Selatan dan menghasilkan Gunung Api Miosen-Pleistosen (Magmatik arc).
           
Cekungan Malawa merupakan Paleogen Rift basin,  endapan batubara di daerah itu sebagai endapan Syn-Rift termasuk Formasi Malawa (Toraja Fm) yang berumur Eosen. Selanjutnya ditutupi endapan batugamping Tonasa (Makale Fm) berumur Oligosen yang merupakan endapan transgresi.

F.     Cekungan Banggai
(Sula-Sulawesi Timur, disebut juga Tomori Block), merupakan cekungan Forelad basin yang dibawahi oleh Rift-drift Mesozoikum dan Banggai-Sula (Platform), yang relatif stabil dan suatu kompleks tumbukan (Foreland thrust / Collision Complex) disebelah baratnya.Urutan stratigrafinya khas Benua Australia, mengingat Banggai-Sula merupakan micro continent bagian dari Benua Australia.  Cekungan Banggai merupakan belahan dari Cekungan Salawati yang telah terseret oleh Sesar Sorong yang memisahkannya.

G.  Percekungan Buton
Buton merupakan Micro Continent yang telah mengakrasi pada Pulau Muna yang terjadi pada tahap-tahap akhir dari pertumbukan lempeng Australia-Pasific. Sejarah tektonik Buton adalah sangat kompleks yang melahirkan beberapa cekungan struktur. Dua cekungan struktur itu diantaranya :
                  The East Buton Basin: memperlihatkan struktur kompresi
                  The Buton Straits Basin:menghasilkan beberapa Antiklin besar dgn pola en echelon, erat bubungannya dengan pergeseran  gaya lipatan yang sederhananya (Simple fold style).

H.  Busur Banda
1.      Cekungan Seram
Cekungan di atas ini berada pada Fragmen Kerak Benua Australia, hal ini nampak pada urutan stratigrafinya, telah mengalami Rifting Transtension dan transpression yang menghasilkan lipatan dan sesar sungkup dalam jalur kompleks sesar geser mengiri (Left lateral strike slip zone). Antara Sesar Sorong di utara dan Sesae Tarera-Aiduna di selatan, pada akhir Pliosen. Aktifitas tektonik terakhir membentuk Young elongate perched thrust foreland basins Wahai Basin dan Bula Basin berumur Pliosen-Pleistosen yang menutupi urutan lapisan-lapisan Mesozoikum.

2. Cekungan Tanimbar
      Daerah percekungan ini meliputi kepulauan Kai dan Tanimbar di bagian timur Busur Banda,  Cekungan ini hasil interaksi tektonik tumbukan dari busur-busur Banda dan tektonik regangan (extensional tectonics) dari palung Aru dan terletak pada Pinggiran Pasif Benua Australia-Paparan Arafuru. Urutan Cekungan Pre-Rift di zaman Paleozoikum, Syn-Rift zaman Jura dan Passive Margin di zaman Kapur serta Drift pada zaman Tersier dapat dikenali di sini. Aktifitas tektonik disini yang terakhir menghasilkan cekungan yang melandai ke arah timur dan dibatasi oleh jalur sesar sungkup lipatan Dalam cekungan ini potensi untuk minyak dan gasbumi sangat kecil. (foldthrust belt) di sebelah barat.

3. Cekungan Timur
      Percekungan Timor merupakan kelanjutan dari Busur Banda, memperlihatkan kesesuaian dengan Cekungan Tanimbar, namun lebih kompleks karena disini kerak benua Australia dengan ujung passive marginnya bertumbukan secara frontal dengan jalur subduksi Busur Banda. Urutan Stratigrafi Australia juga dapat dikenali disini dan nampak dalam sesar sungkup yang sangat kompleks. Kecil sekali diketemukan minyak dan gasbumi disini.

4. Cekungan Nusa Tenggara
      Sulit untuk dapat mengatakan adanya cekungan sedimen di daerah ini, kecuali pada laut dalam di belakang maupun dimuka kepulauan mulai dari Bali sampai Sumba. Busur kepulauan ini merupakan jalur Magmatisme dengan kecil kemungkinan didapatkannya minyak dan gasbumi.

CEKUNGAN DI INDONESIA TIMUR

1.      Cekungan di Perisai Sahul
Cekungan di Perisai Sahul (di atas Kerak Benua Australia). Stratigrafi Cekungan ini ditandai adanya Ketidakselarasan antara Cekungan Pre-Rift (Paleozoikum), Syn-Rift (Jura Awal), Passive margin (Jura Akhir-Kapur Akhir) dan Continent-arc Collision related  Fore-land Basins dan Strike-Slip related Basins.

2.      Bagian utama Irian Jaya
Merupakan Pinggiran Benua Australia yang sejak Trias bergerak ke utara dan ini sebenarnya merupakan Passive margin, dengan lempeng Samudra di depannya membentuk subduksi terhadap lempeng Pasific. Pada saat jalur subduksi yang terus menerus mengkomsumsi Lempeng Samudra Australia bertumbukan dengan kerak benua Australia pada Awal Tersier.
     
Mengakibatkan Lempeng Samudra Pasific tertekukkan ke atas dan menghasilkan Obduksi, sedang lapisan-lapisan Paleozoic-Mesozoic serta lapisan Tersier terlipat kuat membentuk sesar naik dan sungkup ke arah selatan  yang sering disebut dengan Papua Foldthrust Belt, Sementara Foreland-basins terbentuk didepan Paparan Australia, Hinterland basin dibelakang Pegunungan lipatan tersebut. Lapisan sedimen yang terlipat ketat karena pertumbukan Collision ini disebut Suture. Masalah di sini makin dipersulit  dengan adanya sesar geser di jalur Pegunungan tersebut.

A.    Suture related basins
                  Cekungan Akimeugah (Foreland basins). Di selatan Irian Jaya
                  Cekungan Mamberano (Foredeep basin). Di utara Irian Jaya
                  Cekungan di Paparan Australia Utara (Timor Gap), merupakan cekungan Rift basin   dan Passive margin pada Pra-Tersier

B.     Strike-slip related basin
                  Cekungan Salawati
Cekungan ini berhubungan dengan Sesar Geser Sorong,yang membentuk asimetri, ada dugaan bahwa Cekungan Salawati ini merupakan bahagian terpotong dari Cekungan Banggai.
                  Cekungan Bintuni
Pada Cekungan ini terbukti batuan Pra- Tersier menghasilkan Gas, bukan merupakan bessement, Gas ditemukan pada batuan umur Jura. Stratigrafi Pra-Tersier. Cekungan ini diduga terbentuk  karena sesar geser yang menghasilkan Transpressional struktur sesar sungkup dari Jakur Lengguru pada penampang berbentuk asimetri.
                  Cekungan-cekungan yang terbentuk karena pengaruh Sesar Geser Sorong (Sorong Fault Zone), berbentuk Half Graben, Cekungan Banggai merupakan belahan dari cekungan Salawati yang telah ditransport beberapa ribu Km, ke arah Barat pada zaman Tersier. Urutan Pre-Rift, Syn-Rift dan Passive-margin, serta terakhir Drift dapat dikenali pada kedua cekungan ini. Transpressional pada akhir Tersier telah menghasilkan ribuan meter sedimen klastik yang berpotensi untuk minyak dan Gasbumi.



"PUSTAKA BACAAN"

·         CEKUNGAN SUMATERA TENGAH
Moulds, P.J., 1989, Development Of The Bengkalis Depression, Central Sumatra and Ins Subsequent Deformation – A Model for Other Sumatran Grabens, Proceedings Indonesian Petroleum Association – Eighteenth Annual Convention vol.1, Jakarta.
Shaw, J.H., Hook, S.C. dan Sitohang E.P., 1999, Extensional Fault-Bend Folding and Synrift Deposition: An Example from the Central Sumatra Basin, Indonesia, AAPG Bulletin, V. 81, No. 3 - Online presentation.
Wain, A.S. dan Jackson, B.A., 1995, New Pematang Depocentres on The Kampar Uplift, Central Sumatra, Proceedings Indonesian Petroleum Association – Twenty Fourth Annual Convention vol.1, Jakarta.
Wibowo, R.A., 1995, Pemodelan Termal Sub-Cekungan Aman Utara Sumatra Tengah, Bidang Studi Ilmu Kebumian – Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung, Unpublished.

·         CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

·         CEKUNGAN BENGKULU
           
·         CEKUNGAN KUTAI

·         CEKUNGAN TARAKAN

·         CEKUNGAN BARITO
Satyana, A.H., 2000, Kalimantan, An Outline of The Geology of Indonesia, Indonesian Association of Geologists, p.69-89.
Bachtiar, A., 2006, Slide Kuliah Geologi Indonesia, Prodi Teknik Geologi, FITB-ITB

·         CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA
Amril, A., Sukowitono., Supriyanto., .1991. Jatibarang Sub Basin – a half Graben Model in the Onshoe of North West Java. IPA Proceedings, 20th Annual Convention, Jakarta. hal 279-307.
Arpandi, D., Patmosukismo, S., .1975 The Cibulakan Formation as One of the Most Prospective Stratigraphic Units in the Northwest Java Basinal Area. IPA Proceeding. Vol 4th Annual Convention. Jakarta
Budiyani,S., Priambodo, D.,Haksana, B.w.,Sugianto,P., .1991. Konsep Eksplorasi Untuk Formasi Parigi di Cekungan Jawa Barat Utara. Makalah IAGI. Vol 20th, Indonesia. hal 45-67.
Darman, H. dan Sidi, F.H.,. 2000. An Outline of The Geology of Indonesia. IAGI. Vol 20th. Indonesia
Gordon, T. L., .1985. Talang Akar coals Ardjuna subbasin oil source. Proceedings of the Fourteenth Annual Convention Indonesian Petroleum Association, v.2. hal. 91-120.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region. USGS Professional Paper, 1078.
Hunt, J.M., .1979. Petroleum Geochemistry and Geology. xxi+617 pp., 221 figs. Oxford: Freeman.
Noble, Ron A.,. 1997. Petroleum System of Northwest Java Indonesia. Proceeding IPA. 26th Annual Convention. hal: 585 – 600.
Reminton. C.H., Nasir. H.,. 1986. Potensi Hidrokarbon Pada Batuan Karbonat Miosen Jawa Barat Utara. PIT IAGI XV. Yogyakarta
Sinclair, S., Gresko, M., Sunia, C.,. 1995. Basin Evolution of the Ardjuna Rift System and its Implications for Hydrocarbon Exploration, Offshore Northwest Java, Indonesia. IPA Proceedings, 24th .Annual Convention, Jakarta. hal 147-162.